1. HAMKA
a. Biografi
a. Biografi
Pada hari Ahad petang (malam Senin), tanggal 16 Pebruari 1908 M (14
Muharram 1326 H), lahirlah seorang bayi laki-laki dalam keluarga Abdul Karim
Amrullah. Bayi tersebut kemudian diberi nama “Abdul Malik”. Di tepi Danau
Maninjau, di sebuah kampung yang bernama Tanah Sirah, Setelah nantinya
menunaikan ibadah haji, nama itu kemudian berubah menjadi “Haji Abdul Malik
Karim Amrullah” yang disingkat dengan Hamka.
Ayahnya, Abdul Karim Amrullah, alias Haji Rasul, adalah tokoh pelopor
gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau. Karenanya, sebagai putera dari
seorang tokoh pergerakan, maka sejak kecil Hamka sudah menyaksikan dan
mendengar secara langsung pembicaraan tentang pembaruan dan gerakannya, melalui
ayah dan rekan-rekan ayahnya.
Pada Tahun 1914 (dalam usia 6 tahun), Hamka dibawa oleh ayahnya ke Padang
Panjang. Ketika telah mencapai usia 7 tahun, ia dimasukkan ke sekolah desa,
sedangkan pada malam harinya ia mengaji (mempelajari Alquran) pada ayahnya
sendiri hingga tamat.
Buya Hamka
terlahir dari seorang ibu yang bernama Siti Safiyah, istri pertama Syekh Abdul
Karim di desa kampung Molek, sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat. Pada hari
Senin tanggal 17 Februari 1908 M yang bertepatan pada 14 Muharram 1326 H. Dan
pendapat lain mengatakan bahwa beliau lahir pada hari Ahad 16 Februari 1908 M
yang bertepatan pada 13 Muharram 1326 H. Namun kebanyakan adalah pendapat yang
pertama.
Ibunya dari
keluarga bangsawan. Ayahnya Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau haji rasul,
dari keluarga seorang ulama terkenal dan seorang pelapor gerakan
pembaruan/modernis dalam gerakan islah (tajdid) di Minangkabau. Ayah Hamka
terlahir pada tanggal 17 Safar 1296 H / 10 Februari 1879 M di Kepala Kebun,
Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau. Lunak Agama Sumatra
Barat dan Beliau wafat pada tanggal 21 Juni 1945.
Satu
kesukaan Hamka ialah mengembara mengunjungi perguruan pencak Silat, mendengar
senandung dan kaba yaitu kisah-kisah rakyat yang dinyanyikan dengan alat musik
tradisional, rebab dan saluang (alat tiup khas minang) kegemaran lainnya adalah
menonton film, bahkan demi hobinya itu ia pernah mengelabui ayahnya yang
merupakan guru mengajinya, dalam memenuhi hasratnya menonton melalui inspirasi
untuk menulis.
Ia hidup dan
berkembang dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem
matrilineal. Sejak kecil, ia menerima dasar-dasar agama dari Ayahnya pada usia
6 tahun ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun ia dimasukkan ke
sekolah desa dan malamnya ia belajar mengaji Al Quran dengan ayahnya
sampai khatam. Kedua orang tuanya bercerai tatkala ia berusia 12 tahun.
Waktu itu
pelaksanaan pendidikan masih bersifat tradisional. Materi pendidikan masih
berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik. Meskipun tidak puas dengan
sistem pendidikan waktu itu. Ia tetap mengikutinya dengan baik sejak tahun
1916-1923 ia belajar agama pada sekolah diniyah school di padang panjang dan
Sumatra Thawalib di Palabek, guru-gurunya waktu itu antara lain Syekh Ibrahim
Musa, Abdul Hamid dan Zainuddin Labay.
Sejak muda Hamka dikenal sebagai seorang
pengelana bahkan ayahnya memberi gelar Si Buyung jauh. Pada usia 15 tahun
beliau berangkat ke Jawa. Ketika ia berada di Yogyakarta beliau tertarik
untuk menimba ilmu tentang gerakan sosial politik, khususnya gerakan Islam
modern, ia mulai kursus-kursus. Ceramah seperti : H.D.S Tjokroaminoto, Suryo
Pranoto dan disinilah ia menentukan pendirian hidupnya. Setelah itu ia pindah
ke Pekalongan dan belajar pada A.R Sutan Mansyur serta mulai untuk memperlebar
komunikasi.
Pada tahun 1916 hingga tahun 1923, ia berlajar agama pada Sekolah Diniyah
School di Padang Panjang dan Sumatera Thawalib di Parabek. Sejak
saat itu, Hamka sudah mulai gemar membaca buku-buku, baik buku ceritera,
sejarah kepahlawanan, atau artikel-artikel di surat kabar yang memuat kisah
kepahlawanan.
Kemudian pada tahun 1924, ia berangkat ke Yogyakarta untuk mendalami
pergerakan-pergerakan Islam. Ia mendapatkan pengarahan-pengarahan dari
H.O.S.Cokroaminoto, H.Fachruddin, R.M.Suryopranoto, dan A.R.Sutan Mansur.
Pada tahun 1925, Hamka kembali ke Padang Panjang. Pada waktu itu, bakatnya
sebagai pengarang sudah mulai tumbuh. Ia membuka kursus pidato bagi
teman-temannya di Surau Jembatan Besi. Dengan kemampuannya menyusun kata-kata
dalam berpidato dan menulis, menempatkan Hamka pada posisi istimewa di antara
teman-temannya. Ia mencatat dan mengedit pidato teman-temannya, kemudian
mempublikasikannya melalui Majalah Khatib al-Ummah.
Tahun 1927, ia berangkat ke Mekah sambil koresponden pada Harian Pelita
Andalas di Medan.
Sepulang dari Mekah, ia menulis di Majalah Seruan Islam di Tanjung
Pura, selain itu ia juga menjadi pembantu pada Majalah Bintang Islam dan
Suara Muhammadiyah di Yogyakarta.
Dengan keahlian yang dimilikinya itu, menyebabkan ia diangkat oleh Pemerintah
menjadi anggota Badan Pertimbangan Kebudayaan dari Kementerian
PP&K dan Penasehat pada Kementerian Agama, pada tahun 1952. Pada tahun yang
sama, ia diangkat menjadi Guru Besar pada Peguruan Tinggi (Universitas) Islam
yang ada di Makassar.
Berkat jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dengan memakai bahasa Indonesia
yang indah, maka pada awal tahun 1959, Majelis Tinggi Universitas al-Azhar,
Cairo, memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada Hamka. Kemudian pada
tanggal 6 Juni 1974, ia memperoleh gelar Doktor dalam kesusasteraan dari
Universitas Malaysia.
Pada tanggal 26 Juli 1975, bertepatan dengan 17 Rajab 1395, Musyawarah Alim
Ulama seluruh Indonesia melantik Hamka sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Akhirnya, pada tanggal 18 Juli 1981, Hamka wafat di Jakarta.
Baca juga karya-karya Buya Hamka
Baca juga karya-karya Buya Hamka
0 comments:
Post a Comment