Monday, July 16, 2012

Ulama Tafsir Indonesia

1. HAMKA
a. Biografi
Pada hari Ahad petang (malam Senin), tanggal 16 Pebruari 1908 M (14 Muharram 1326 H), lahirlah seorang bayi laki-laki dalam keluarga Abdul Karim Amrullah. Bayi tersebut kemudian diberi nama “Abdul Malik”. Di tepi Danau Maninjau, di sebuah kampung yang bernama Tanah Sirah, Setelah nantinya menunaikan ibadah haji, nama itu kemudian berubah menjadi “Haji Abdul Malik Karim Amrullah” yang disingkat dengan Hamka.
Ayahnya, Abdul Karim Amrullah, alias Haji Rasul, adalah tokoh pelopor gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau. Karenanya, sebagai putera dari seorang tokoh pergerakan, maka sejak kecil Hamka sudah menyaksikan dan mendengar secara langsung pembicaraan tentang pembaruan dan gerakannya, melalui ayah dan rekan-rekan ayahnya.
Pada Tahun 1914 (dalam usia 6 tahun), Hamka dibawa oleh ayahnya ke Padang Panjang. Ketika telah mencapai usia 7 tahun, ia dimasukkan ke sekolah desa, sedangkan pada malam harinya ia mengaji (mempelajari Alquran) pada ayahnya sendiri hingga tamat.
Buya Hamka terlahir dari seorang ibu yang bernama Siti Safiyah, istri pertama Syekh Abdul Karim di desa kampung Molek, sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat. Pada hari Senin tanggal 17 Februari 1908 M yang bertepatan pada 14 Muharram 1326 H. Dan pendapat lain mengatakan bahwa beliau lahir pada hari Ahad 16 Februari 1908 M yang bertepatan pada 13 Muharram 1326 H. Namun kebanyakan adalah pendapat yang pertama.
Ibunya dari keluarga bangsawan. Ayahnya Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau haji rasul, dari keluarga seorang ulama terkenal dan seorang pelapor gerakan pembaruan/modernis dalam gerakan islah (tajdid) di Minangkabau. Ayah Hamka terlahir pada tanggal 17 Safar 1296 H / 10 Februari 1879 M di Kepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau. Lunak Agama Sumatra Barat dan Beliau wafat pada tanggal 21 Juni 1945.
Satu kesukaan Hamka ialah mengembara mengunjungi perguruan pencak Silat, mendengar senandung dan kaba yaitu kisah-kisah rakyat yang dinyanyikan dengan alat musik tradisional, rebab dan saluang (alat tiup khas minang) kegemaran lainnya adalah menonton film, bahkan demi hobinya itu ia pernah mengelabui ayahnya yang merupakan guru mengajinya, dalam memenuhi hasratnya menonton melalui inspirasi untuk menulis.

Ia hidup dan berkembang dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal. Sejak kecil, ia menerima dasar-dasar agama dari Ayahnya pada usia 6 tahun ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun ia dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya ia belajar mengaji Al Quran  dengan ayahnya sampai khatam. Kedua orang tuanya bercerai tatkala ia berusia 12 tahun.
Waktu itu pelaksanaan pendidikan masih bersifat tradisional. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik. Meskipun tidak puas dengan sistem pendidikan waktu itu. Ia tetap mengikutinya dengan baik sejak tahun 1916-1923 ia belajar agama pada sekolah diniyah school di padang panjang dan Sumatra Thawalib di Palabek, guru-gurunya waktu itu antara lain Syekh Ibrahim Musa, Abdul Hamid dan Zainuddin Labay.

 Sejak muda Hamka dikenal sebagai seorang pengelana bahkan ayahnya memberi gelar Si Buyung jauh. Pada usia 15 tahun beliau berangkat ke Jawa. Ketika ia berada di Yogyakarta  beliau tertarik untuk menimba ilmu tentang gerakan sosial politik, khususnya gerakan Islam modern, ia mulai kursus-kursus. Ceramah seperti : H.D.S Tjokroaminoto, Suryo Pranoto dan disinilah ia menentukan pendirian hidupnya. Setelah itu ia pindah ke Pekalongan dan belajar pada A.R Sutan Mansyur serta mulai untuk memperlebar komunikasi.
Pada tahun 1916 hingga tahun 1923, ia berlajar agama pada Sekolah Diniyah School di Padang Panjang dan Sumatera Thawalib di Parabek. Sejak saat itu, Hamka sudah mulai gemar membaca buku-buku, baik buku ceritera, sejarah kepahlawanan, atau artikel-artikel di surat kabar yang memuat kisah kepahlawanan.
Kemudian pada tahun 1924, ia berangkat ke Yogyakarta untuk mendalami pergerakan-pergerakan Islam. Ia mendapatkan pengarahan-pengarahan dari H.O.S.Cokroaminoto, H.Fachruddin, R.M.Suryopranoto, dan A.R.Sutan Mansur.
Pada tahun 1925, Hamka kembali ke Padang Panjang. Pada waktu itu, bakatnya sebagai pengarang sudah mulai tumbuh. Ia membuka kursus pidato bagi teman-temannya di Surau Jembatan Besi. Dengan kemampuannya menyusun kata-kata dalam berpidato dan menulis, menempatkan Hamka pada posisi istimewa di antara teman-temannya. Ia mencatat dan mengedit pidato teman-temannya, kemudian mempublikasikannya melalui Majalah Khatib al-Ummah.
Tahun 1927, ia berangkat ke Mekah sambil koresponden pada Harian Pelita Andalas di Medan.
Sepulang dari Mekah, ia menulis di Majalah Seruan Islam di Tanjung Pura, selain itu ia juga menjadi pembantu pada Majalah Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah di Yogyakarta.
Dengan keahlian yang dimilikinya itu, menyebabkan ia diangkat oleh Pemerintah menjadi anggota Badan Pertimbangan Kebudayaan dari Kementerian PP&K dan Penasehat pada Kementerian Agama, pada tahun 1952. Pada tahun yang sama, ia diangkat menjadi Guru Besar pada Peguruan Tinggi (Universitas) Islam yang ada di Makassar.
Berkat jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dengan memakai bahasa Indonesia yang indah, maka pada awal tahun 1959, Majelis Tinggi Universitas al-Azhar, Cairo, memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada Hamka. Kemudian pada tanggal 6 Juni 1974, ia memperoleh gelar Doktor dalam kesusasteraan dari Universitas Malaysia.
Pada tanggal 26 Juli 1975, bertepatan dengan 17 Rajab 1395, Musyawarah Alim Ulama seluruh Indonesia melantik Hamka sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Akhirnya, pada tanggal 18 Juli 1981, Hamka wafat di Jakarta.

Baca juga karya-karya Buya Hamka

0 comments:

Post a Comment