CORAK TAFSIR BUYA HAMKA
Agama bersifat netral,
tidak memihak, dia hanya menjelaskan pengertian raj’i. Sementara hamka dalam
menjelaskan ayat itu, beliau mengguanakan contoh-contoh yang hidup di tengah
masyarakat,baik masyarakat kelas atas seperti raja, rakyat biasa, maupun secara
individu.Berdasarkan fakta yang demikian, tafsir Hamka dalam menjelaskan ayat
itu bercorak sosial kemsyarakatan (adabi ijtima’i).
KARAKTERISTIK TAFSIR AL-AZHAR
Tafsir al-Azhar
merupakan karya Hamka yang memperlihatkan keluasan pengetahuan beliau, yang
hampir mencakup semua disiplin ilmu penuh berinformasi. Sumber penafsiran yang
dipakai olehHamka antara lain, al Qur’an, hadits Nabi, pendapat tabi’in,
riwayat dari kitab tafsir mu’tabar
seperti al-Manar, serta
juga dari syair-syair seperti syair Moh. Iqbal. Tafsir ini ditulis dalam
bentuk pemikiran dengan metode analitis atau tahlili.Karakteristik yang
tampak dari tafsir al-Azhar ini adalah gaya penulisannya yang bercorak adabi
ijtima’i (social
kemasyarakatan) yang dapat disaksikan dengan begitu kentalnya warna setting
sosial budaya Minangnya
yang ditampilkan oleh Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat al
Qur’an
PERBEDAAN DENGAN TAFSIR LAIN
Tafsir al-Azhar
sangatlah berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya. Mulai dari sudut pemikiran
sampai sudut bahasa yang digunakan dalam menafsirkan pun sangatlah berbeda. Oleh
karena itu, kamiakan membendingkan tafsir al-Azhar ini dengan tafsir Depag dan
tafsir al-Misbah. Yaitu sebagaiberikut:
Perbedaan dari sudut pemikiran:
a. Depag : Sudut pemikirannya datar
(karena tafsir ini ditulis oleh banyak ulama atau dapat dikatakan tulisan
gotong royong)
b.Tafsir al-Misbah : Sudut pemikirannya mendalam dan dilengkapi
oleh data-data kontemporer(modern)
c. Tafsir al-Azhar : Sudut pemikirannya
selalu menggiring seseorang kepada tasawuf (karenaberangkat dari setting sosial
politik pada saat tafsir ini ditulis dan untuk selamat dari kondisiseperti itu,
maka seseorang harus terjun ke dalam tasawuf.
Perbedaan dari sudut bahasa. Tafsir Depag : Sudut bahasa yang digunakan
sangatlah standart atau datar (dimaksudkan agar memudahkan seseorang dalam
memahaminya)
CONTOH PENAFISRAN HAMKA
Penafsiran Buya Hamka terhadap ayat-ayat Amar Ma’rûf nahî Munkar dalam Tafsir al-Azhar. Menurut
Hamka dalam tafsir al-Azhar, kata ma’rûf (معروف) berasal dari kata urf (عــرف) artinya “yang
dikenal,”atau“yang dapat dimengerti dan dapat dipa¬hami serta diterima oleh
masyarakat.” Dalam pengertian lain, ma’rûf (معروف) berarti perbuatan yang patut, pantas dan
sopan yang berlaku secara umum. Lebih lanjut Hamka menjelaskan bahwa suatu
perbuatan dapat dikatakan baik (معروف) jika perbuatan itu dapat diterima dan
dipahami oleh manusia, dan dipuji. Perbuatan itu patut diterima dan dipahami
ma-nusia karena memang perbuatan baik (معروف) itulah yang patut dikerjakan oleh manusia
yang berakal. Kebalikan dari kata ma’rûf (معروف) adalah kata mun¬kar (مـنـكـر), berarti yang
dibenci, yang tidak disenangi atau ditolak oleh ma¬syarakat, karena tidak
patut, tidak pantas. Tidak selayaknya yang demikian itu dikerjakan oleh manusia
berakal; segala gejala-gejala buruk yang tidak diterima oleh masyarakat secara
akal sehat. Demikian sekilas penjelasan mengenai pengertian ma’rûf (معروف) dan
munkar (مـنـكـر) menurut Hamka
Seperti diketahui bahwa ayat amar ma’rûf nahî munkar dituliskan
secara bersambung disebutkan dalam al-Qur’ân pada lima surat, yaitu al-‘Araf
ayat 157, Luqman ayat 17, Ali Imran ayat104, 110, dan 114, al-Hajj ayat 103,
dan 103, serta al-Taubah ayat 67, 71, dan 112. Masing-masing ayat mempunyai
konteks dan situasi yang berbeda. Meskipun begitu, semua ayat ini menyerukan
agar mengerjakan perbuatan yang ma’rûf dan menjauhi perbuatan keji yang dilarang
oleh Allâh SWT. Pada surat al-A’râf ayat 157, sebagaimana akan dijelaskan di
bawah ini, konteks amar ma’rûf dan nahî munkar menjelaskan tentang keberadaan
Nabi Muhamad saw sebagai seorang rasul Tuhan. Nabi Muhamad saw adalah seorang yang
ummî (yang tidak pandai menulis dan membaca) yang telah disebutkan bahwa beliau
akan datang sebagai Nabi akhir zaman di dalam Taurat dan Injil. Risalah yang
akan dibawa oleh Nabi akhir zaman itu ialah yang menyuruh akan mereka “berbuat
yang ma’rûf dan mencegah akan mereka yang munkar”.
Kalimat يامرهـم با لمعـرو ف و يـنـهــهـم
عـن المـنكـر yang terdapat dalam surat al-‘Arâf ayat 157 seperti
tersebut di atas, menjelaskan tentang peran yang telah dimainkan oleh para nabi
dan rasul, seperti nabi Musa, nabi Isa dan nabi Muhamad saw yang ummi, dalam
menjalankan risalah atau nubuwah kepada umat manusia. Sebagai nabi yang ummi,
beliau juga mendapat tugas untuk menyebarkan risalah ketuhanan kepada umat
manusia, termasuk ke-pada para ahl al-kitab. Dalam konteks ini, Hamka
menjelaskan bahwa sebagai nabi yang ummi, tugas berat yang diemban nabi Muhamad
saw, akan selalu menghadapi risiko. Tetapi, seberat apapun risiko itu, nabi
siap menanggungnya, karena beliau telah mendapatkan amanah untuk melaksanakan
yang ma’rûf (معروف) dan mencegah yang munkar (مـنـكـر).
Menurut Hamka, kata ma’rûf (معروف) yang terdapat dalam surat ini, berarti yang dikenal atau patut
untuk dilakukan. Dalam konteks amar ma’rûf nahî munkar, ditafsirkan oleh Hamka
dengan kalimat sehaja. Apabila suatu perintah datang kepada manusia yang
berakal budi, langsung disetujui oleh hatinya, karena hati nurani mengenalnya
sebagai suatu yang baik, yang memang patut dikerjakan. Oleh karena itu, segala
perintah yang dikerjakan oleh nabi yang ummi, pastilah sesuai dengan jiwa,
sebab jiwa mengenalnya sebagai suatu yang baik. Di antara contoh yang diberikan
Hamka adalah perintah shalat dan membayar zakat. Nabi Muhamad dan umatnya
diperintahkan untuk melaksanakan shalat, karena shalat adalah pekerjaan yang
patut dilakukan. Begitu juga pemberian zakat, karena memang masyarakat miskin
perlu mendapat bantuan. Dengan kalimat pendek Hamka menyimpulkan bahwa tidak
ada suatu perintahpun yang tidak ma’rûf (معروف) kepada jiwa, kecuali jiwa yang sakit.
Selanjutnya ayat–ayat yang menjelaskan amar ma’rûf nahî munkar (الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر secara berurutan ialah surat Âli ‘Imrân ayat 104, 110, dan 114.
Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut.
Artimya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali-Imran:104)
Artinya: kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik (Ali-Imran:110)
Artinya:mereka beriman kepada Allah dan
hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
Munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu Termasuk
orang-orang yang saleh (Ali-Imran 114)
Pada surat Âl-Imrân ayat 104, menurut Hamka, terdapat hal penting
yang menjadi tugas dan kewajiban umat manusia, yaitu melakukan dakwah. Suatu
golongan yang terdapat dalam ayat tersebut, yaitu ummat, memiliki tugas dan
kewajiban untuk mengajak dan membawa manusia kepada kebaikan, menyuruh berbuat
ma’rûf (معروف), yaitu perbuatan yang patut, pan-tas dan sopan, dan mencegah,
melarang perbuatan munkar (مـنـكـر), yang dibenci dan yang tidak diterima
oleh akal dan jiwa yang sehat. Menurut Hamka, dalam konteks ayat tersebut,
terdapat dua kata penting, yaitu me-nyuruh berbuat ma’rûf (معروف), dan mencegah
perbuatan munkar (مـنـكـر). Kata ma’rûf (معروف), diambil dari kata ‘urf (عـرف (yang
berarti dikenal atau yang dapat dimengerti, dapat dipahami serta dapat diterima
oleh manusia, dan dipuji. Karena begitulah yang patut dikerjakan oleh manusia
yang berakal. Sedang yang munkar, (مـنـكـر), artinya yang dibenci, yang tidak
dise-nangi, yang ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut dan tidak pantas
untuk dikerjakan. Oleh karena itu, menurut Hamka lebih lanjut, kalau ada orang
berbuat ma’ruf, seluruh masyarakat, umumnya menyetujui, membenarkan dan memuji.
Sebaliknya, kalau ada perbuatan munkar, seluruh masyarakat menolak, membenci dan
tidak menyukainya. Untuk mengatasi masalah ini, Hamka memberikan sebuah tips,
yaitu pengetahuan keagamaan dan sikap keberagamaan. Menurutnya, semakin tinggi
kecerdasan beragama, bertambah kenal orang akan yang ma’ruf, dan bertambah
benci kepada yang munkar. Untuk itu, hendaknya dalam suatu masyarakat, ada sekelompok
umat yang bertugas dan bekerja keras untuk menggerakkan masyarakat agar mereka
berbuat yang ma’ruf, dan menjauhi yang munkar, supaya masyarakat itu bertambah
tinggi nilainya.
Kesimpulan yang disampaikan oleh Hamka dalam penafsirannya pada
surat Âli Imrân ayat 104 dalam tafsir al-Azhar adalah bahwa الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر itu adalah menyeru untuk
melakukan ke-bajikan dan mencegah kemunkaran. Menyeru atau mengajak merupakan
aktivitas dakwah. Dengan dakwah, ada dinamika kehidupan umat Islam, menjadi
lebih dinamis dan agama menjadi hidup. Sebaliknya, apabila tidak ada dakwah,
maka tidak ada dinamika kehidupan beragama. Karena itu, haruslah ada sekelompok
orang yang mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan. Dalam konteks dakwah,
Hamka tampaknya membagi bidang garapan dakwah menjadi dua, yaitu; umum, adalah
untuk kalangan masyarakat umum, dan khusus, untuk keluarga sendiri. Dakwah yang
bersifat umum adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat serta mengajak
mereka untuk memahami hikmah ajaran Islam yang benar, serta menangkis tuduhan
yang tidak benar yang diarahkan kepada agama Islam. Sedang dakwah yang bersifat
khusus, ditujukan kepada keluarga sendiri, agar patuh kepada Tuhan.
Di dalam ayat 104 surat Âl-Imrân ini terdapat 3 (tiga) kewajiban,
yaitu menyuruh berbuat ma’ruf (معروف), melarang berbuat munkar(مـنـكـر),
dan ketiga mengajak kepada kebaikan (الخـيـر) Menurut Hamka, ketiga kewajiban itu,
yaitu amar ma’ruf dan nahi munkarالامـربـالـمـعـروف وا
لنهى عن الـمـنكر, semua berpusat
pada yang satu, yaitu يـدعـون الى الـخـيـرmengajak
pada ke-baikan. Menurut Hamka, yang dimaksud dengan kata (الخـيـر) yang berarti
kebaikan, yang dimaksud di dalam ayat ini adalah Islam, yaitu me¬mupuk
kepercayaan dan iman kepada Tuhan, termasuk tauhid dan ma’rifat. Hal itulah,
menurut Hamka sebagai hakikat kesadaran beragama yang menimbulkan pengetahuan
sehingga dapat membedakan mana yang baik, yang ma’ruf (معروف), dan mana yang
tidak baik, yaitu munkar (مـنـكـر). Di sinilah, menurut Hamka pentingnya juru dakwah atau da’i
memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai ajaran agama Islam yang sebenarnya,
sehingga masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran beragama yang tinggi. Dengan
kesadaran beragama yang tinggi, maka akan berdampak pada sikap dan perilaku
seseorang dalam bermasyarakat, sehingga ia memiliki keberanian untuk melakukan
kebaikan dan mencegah keburukan. Sebaliknya, apabila sikap keberagamaan masyarakat
belum tumbuh dan masih rendah, maka percuma saja menyebut yang ma’rûf (معروف), dan
menentang yang munkar. Sebab, menurut Hamka untuk membedakan yang ma’rûf (معروف),
dengan yang munkar (مـنـكـر) tidak ada lain kecuali ajaran Islam.
Kalimat يـدعـون الى الـخـيـر امـة , artinya umat mengajak pada kebaikan yang
terdapat pada surat Âl-Imrân ayat 104, menurut Hamka memiliki dua kata penting,
yaitu ummatun (امـة ) dan kedua kata yad’ûna يـدعـون . Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dikalangan
umat Islam yang besar jumlahnya, hendaklah ada segolongan umat yang menjadi
inti, yang kerjanya khusus mengadakan dakwah, atau seluruh umat ini sendiri
sadar akan kewajibannya yaitu melaksanakan dakwah. Sebab kehidupan agama,
kemajuan dan kemundurannya sangat tergantung pada dakwah. Pelaksanaan dakwah
yang dimaksudkan Hamka tidak hanya kegiatan dakwah ke dalam, yaitu dakwah di
kalangan umat Islam sendiri, juga dakwah ke masyarakat luar Islam. Tujuannya,
bila dakwah ke dalam, diharapkan umat Islam semakin kuat kesadaran beragamanya,
sehingga mampu melakukan yang ma’ruf (معروف) dan mencegah yang munkar (مـنـكـر).
Sedang dakwah ke luar Islam tujuannya agar masyarakat non-muslim memahami
posisi Islam sebagai sebuah agama damai dan memberikan pengertian tentang
hakikat kebenaran Islam kepada orang-orang yang belum memeluknya.
Seperti ditegaskan sebelumnya bahwa Hamka mengartikan kata ma’ruf (معروف)
dengan suatu perbuatan baik yang diterima oleh masyarakat dan akal sehat. Oleh
karena itu, menurutnya, seorang da’i apabila berdakwah hendaklah ia
mengeluarkan pendapat umum yang sehat atau public opini yang sehat dan dapat
diterima masyarakat umum. Diharapkan dengan adanya kegiatan dakwah, akan
terbentuk masyarakat yang sehat. Bila amar ma’ruf nahi munkar الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر, terhenti, sebagai bagian dari aktivitas dakwah, maka hal itu
dapat dijadikan sebagai indikator masyarakat yang sedang sakit. Oleh sebab itu,
lanjut Hamka, mereka yang melakukan kebaikan (الـخـيـر) dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar,
adalah mereka yang akan memperoleh kemenangan. Karena mereka telah melakukan amar
ma’ruf nahi munkar الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن
الـمـنكر , dan mengajak pada
kebaikan, sehingga keburukan dapat dihindari atau dikalahkan, sehingga umat
menjadi pelopor kebajikan di dalam dunia.
Dalam konteks
ini ayat tersebut di atas, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh kaum
muslimin. Pertama, mengajak orang kepada al-khair (يـدعـون
الى الـخـيـر). Kedua, mengajak
orang kepada yang al-ma’rûf (الامـربـالـمـعـروف). Ketiga, mencegah orang dari al-munkar (وا لنهى عن الـمـنكر). Dari terjemahan ayat tersebut, lafal atau kata al-khair (الـخـيـر)
dan lafal al-ma’rûf الـمـعـروف menurut harfiahnya sama, yaitu kebaikan. Terdapat dua ka-ta
yang berbeda akan tetapi memiliki pengertian sama. Oleh karena itu, ke-simpulan
umum yang hendak dijelaskan pada ayat ini adalah suatu kewajiban bagi umat
Islam untuk menyampaikan yang ma’ruf (معروف) dan melarang perbuatan yang munkar(مـنكر). Karena
perbuatan demikian merupakan ujung tombak dari dakwah Islam, yakni menyampaikan
yang baik dan melarang kepada yang munkar.
lanjut yach... baca juga ulama tafsir Quraisy Shihab